Sabtu, 07 Januari 2017

dari oh mama - PERAHU

 dari oh mama - PERAHU 1
Ayah sedang sakit. Ibu menjaganya di rumah. Tidak dibawa ke rumah sakit, karen ketiadaan uang. Untuk sementara, aku yang menggantikan ayah melaut. Ayah terus menerus batuk dan mengeluarkan darah. TBC, kata orang-orang. Aku pun menmbus kabut pagi ke tengah laut, semebari menebar jaring kecil sendirian dengan perahu milik ayah. Perahu kecil dengan cadik kesil di kedua sisinya. Aku pun berhenti sekolah.Adikku Sutinah, mulai besok libur sekolah. Dia kelas 1 SMP, tak lagi naik ke kelas 2. Aku senang, begitu adikku Sutinah libur, berarti ada yang menolong ibu di rumah. Tapi malah adikku SUtinah ingin ikut denganku melaut. Akhirnya ibu mengizinkannya.
Matahari belum muncul. Angin masih berhembus ke laut. Kami cepat-cepat naik perahu dan mengkayuh agak ke tengah. Lalu kami pasang layar kecil. Dan perahu pun melaju ke tengah laut. Aku tingalmenjaga kemudi agar perahu lurus jalannya. Sutinah duduk di depanku dan menghadap ke arahku. Sesekali dia mempermainkan air laut yang berdesir-desir. Dia berpegangan kuat ke dinding perahu dengan kedu tangannya. Tiba-tiba ombak di depan menggelombang. Perahu kami terangkat ke atas, kemudian tehempas ke bawah. Saat itu, rok Sutinah terangkat. Akh... Sutinah, tidak memakai celana dalam. Mungkin lupa, atau mungkin celana dalamnya lagi basah. Maklum dia hanya memiliki dua buah celana dalam. Akhirnya kami sampai ke pulau kecil. Aku menabur jaring kecil berkeliling. Usai itu, ujung tali, kami tambat ke buritan, dan kami sama-sama berkayuh ke tepi pantai pulau kecil itu.

Jangkar yang terbuat dari sepotong besi yang melengkung, kami jatuhkan, agar perahu tak bergerak. Kami perlahan-lahan menrik ujung tali. Tangan kami merasakan aga getar-getar kecil jauh di ujung jaring. Aku yakin, ada ikan di dalamnya. Jaring semakin mendekat. Kami pun mengangkatnya. Benar, ada pulan ikan ukuran kecil, sedang dan agak besar. Kami memasukkannya ke dala perut perahu. Saat mengangkat yang terakhir, Sutinah tepeleset. Tercebur ke laut. Untung aku masih sempat mengangkat semua jaring itu ke dalamperahu. AKu melihat Sutinah bersusah payah berenang mendekati perahu. Aku mencebur ke laut dan menangkap adikku itu. Diakugendong dan kuangkat ke dalam perahu. Saat kutolak pantatnya, terpegang oleh pantatnya yang tanpa celana dalam. Aku menyentuh buah dadanya yang mungil.
Sutinah hanya memakai baju kaos tipis dan tidak juga memakai beha. Selama ini dia hanya memakai singlet saja.. Akibat kuyup, teteknya membayang di bajunya, tanpa dia sadari. Aku terkesima dan langsug birahiku bangkit. AKu diam saja, agar tetek itu tetapmembayang di bajunya yang basah. "Maafkan aku, Mas," katanya ketakutan. Dia takut aku marah, karena ketidakhati-hatiannya. Aku diam saja dan membenahi jaring untuk kubuang sekali lagi. Sutinah mendekatiku dan mendekapku, sembari kembali meminta maaf. Aku kasihan padanya. Aku balas memeluknya. Kami berpelukan. Kemudian perlahan kembali mengkayuh ke tengah dan menebar jaring yang kedua kalinya. Dua puluh menit kemudian, kami kembali menariknya dan mengangkat puluhan ekor ikan yang ukuran kecil dan menengah. Kami hitung bersama, ada 62 ekor ikan, berkisar 11 kilogram. Kami pun merapatkan perahu ke pulau kecil. Sutinah kuajak ke sebuah pancuran kecil yang mengalirkan air sejuh dari puncak bukit. Kupangil Sutinah untuk mandi. Mulanya dia ragu. Kuseret tangannya. Lalu kubuka pakaiannya. "Malu Mas" katanya. "Kamu harus mandi dik. Nanti kamu sakit, air laut lengket di tubuhku," kataku beralasan. AkhirnyaSutinah mamu membuka bajunya dan bertelanjang. Dia menutupi teteknya dengan sebelah tangannya dan sebelah lagi menutupi memeknya yang belum berbulu sama sekali. Aku juga membuka pakaiankua dan bertelanjang lalu sama-sama mandidi pancuran kecil itu. Aku menyuruhnya cepat, takut kalau ada nelayan lain yang datang. Kemudian aku mencuci pakaiannya yangkena air laut. Setelah memerasnya, memakaikannya kembali. Hari meulai meninggi. Kami takut, ikan kamitak laku, kami pulang ke tepian. Kami naik ke perahu.
Layarakecil, kembali kami pasang agar tak perlu mengkayuh. Kumintaagar Sutinah dekat denganku. Saat perahu berjalan perlahan, kuminta agar Sutinah naik ke pangkuanku. Lagi-lagi Sutinah ragu. Setelahkupelototi, akhirnya dia naik ke pangkuanku. Punggungnya menyender ke dadaku. Perlahan penisku naik. Perlahan celana yang hanya pakai karet tanpacelana dalam itu kupelorotkan ke bawah. Lalu kuangkat Sutinah dan kusingkap rok-nya. Jelas, penisku menempel di belahan pantatnya. Sebelah tanganku memegang kemudi dan sebelah lagi memeluknya. Kumasukkan tanganku ke sebalik baju kaosnya dan mengelus-elus buah dadanya. "Mas... nanti..." "Udah... diam saja," aku setengah membentak. Perahu terus melaju menuju tepian. Menurut perkiraan, akan sampai berkisar satu jam lagi. Secepatnya jika angin kencang, 45 menit.
"Mas... geli..." "Yah. Mas tahu, geli. Tapi neak kan? Jangan bohong," kataku. Sutinah diam. Akhirnya Sutinah menggeliat-geliat. Ujung penisku sudah sesekali menyentuh-centuh parit memeknya. Aku merasa nimat sekali. Sutinah pun menunduk-nunduk sepertinya dia mencari-cari agar ujung penisku mengenai klentitnya. Aku mendengar sesekali dia mendesah. Kuciumi lehernya seraya terus meraba pentil teteknya yang masih kecil. Sampai akhirnya aku melepaskan spermaku.
Kami sampai di darat. Ibu sudah menunggu di tepian. Pembeli ikan naik sepeda sudah menungu juga. Akhirnya ikan kami jual. Rp. 83.000,- Ibu tersenyum. "Rezeki kamu bagus Rin," kata ibu. "Ini rezeki Sutinah, Bu," kataku. Sutinah tersenyum. "Baguslah. Kalau begitu Besok Sutinah ikut lagi, ya" kata ibu pada Sutinah. Sutinah tersenyum dan menganguk. AKu senang. "Sutinah harus ikut bu. Biar adatemanku dan Sutinah rezekinya bagus," pujikupula. Ibu tersenyum.
Di rumah, aku memperbaiki jaring yang koyak dan SUtinah datang. "Besok akuikut lagi ya, Mas,"kata Sutinah sepertai membujuk.
"Ya.. Tapi seperti tadi ya. Jangan pakai celana dalam dan pakai baju kaos saja," kataku. Sutinah mengangguk. Aman pikirku.
Jaring kami tabur lagi dan tarik. Kami tabur lagi dan kami arik pula sampai tiga kali. Kami mendapatkan ikan lebih banyak dari kemarin. Aku mengajak Sutinah mandi ke pancuran. Aku sudah membawa sabun mandi. Kami mandi bedua bertelanjang. Sutinah seperti mulai biasa dan tidak malu lagi. Dalam tubuh kami dilamuri sabun, kami berpelukan. Kucium Sutinah, kuemut teteknya sampai Sutinah mengelinjang. Setelah puasmenciuminya, kami cepat memakai pakaian dan naik ke perahu. Perahu-perahu besar sudah lebih dahulu ke darat. Mereka ingin mendahului kami, agar ikan mereka lebih mahal. Aku justru senang, kami belakangan dari mereka. Perlahan aku memasang layar dan perahu melajur perlahan pula. Sutinah seperti tahu sendiri, dia mendatangiku dan naik ke pangkuanku. Aku justru memintanya agar dia menghadapku. Perlahan dia naik mengangkangi kedua kakiku. AKu sudah mengeluarkan penisku yang tegang. "Pegang titit, Mas. Kenakan ke anu-mu," perintahku. Sutinah pun memegang penisku lalu ujungnya dia tempelkan ke lubang memeknya. Perahu terus melaju dan gelombang kecil mengayun-ayunkan kami. Gesekan demi gesekan kami rasakan, membuat kami kenikmatan. Sampai akhirnya kami berpelukan dan aku melepaskan sepermaku beberapa kali ke pintu lubang memek Sutinah. Bibir pantai sudah jelas terlihat. Aku minta Sutinah agar duduk di tengah. Perlahan diabangkit dan duduk di tengah berpegangan pada kedua sisi perahu.
Kami tiba di pantai. Ibu juga sudah menunggu. Pedagang ikan mulai berdatangan. Kebetulan harga ikan naik dan kami menjual ikan seharga Rp.118.000,- Kembali ibu tersenyum dan memuji kami. Aku tetap memuji Sutinah. Sutinah pun tersenyum dan bangga. kamipulang ke rumah setelah menambatkan perahu dan aku pun kembali memperbaiki jaring yang rusak serta memebli benang yang kurang.
Atas pertolongan penyuluh kesehatan yang memasuki desa-desa dan ABRI masuk Desa, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk berobat gratis ke rumahsakit di kabupaten. Ayah dibawa naik ambulance militer dengan sirene meraung-raung. Sutinah menangis, ketia ayah dibawa naik ambulance itu. Dia memelukku. Ibu menemani ayah ke rumah sakit dengan membawa semua peralatan yang dibutuhkan. Kata mereka setidaknyaayah harus dipname selama 4 embualn, kemudian harus makan obat teratur dan diawasi. TBC, masih bisa disembuhkan, kata mereka. Kami pun agak lega juga.

Aku dan adikku Sutinah, menyusul ayah dengan naik sepeda. Siang kami tiba di rumah sakit. Ayah dirawat. Tangannya sebelah diinfus. Hidungnya, diberi pernafasan. Kata mereka namanya oksigen. Ayah mulai lega bernafas. Ibu pun dirawat juga dengan diinjeksi dan diberi obat. Kami hanya dua jam di rumah sakity. Setelah itu, kami pulang dan tak lupa membeli peralatan untuk menempel jaring. Kami sempat makan di warung tepi jalan dan makan dengan lahapnya. Pukul 17.00, kami baru tiba di rumah. Aku langsung tidur, karean keletihan mengkayuh sepeda.
Dalam aku tertidur, aku merasakan, kemaluanku seperti dielus-elus. Aku terbangun. Kulihat adikku Sutinah sedang mengelus-elus kontolku. "Ada apa, SU?" tanyaku. "Tadinya titit Mas kecil. Lama-lama jadi besar?" kata adikku. Aku tersenyum saja "Aku laga-laga ke tempikku ya Mas. Seperti di perahu itu?" kata adikku. Aku diam saja dan kembali menutup mataku. Sutinah langsung meniki tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku. Ditangkapnya kontolku dan dileganya ke lubang memeknya. Kedua lututnya bertumpu pada lantai. "Tekan yang kuat, Su. Titit Mas, dimasuki ke dalam lubang tempikmu," kataku. Adikku melakukannya. "Ah.. Mas. Sakit," katanya. "Perlahan-lahan. Nanti lama-lama gak sakit lagi," kataku. Dia melakukannya, tapi mengataan tetap sakit. Ya sudah. "Kamu buka bajumu. Kamu telanjang saja," kataku. "Nanti dilihat orang," bisiknya. "Tak ada yangmelihat. Hanya kita beruda saja," kataku. AKhirnya Sutinah mau dan melepas pakaiannya sampai telanjang. Aku duduk dan memangkunya. Aku mempraktekkan, bagaimana Lek Parto menjilati pentil tetek isterinya dan menjilati memek isterinya. Isteri Lek Parti menggeliat-geliat kenikmatan. AKu akan buat adikku nikmat, bisik hatiku. Aku juga melepas semua pakaianku. Aku mulai menjilati tetek Sutinah. Pentilnya yang kecil dan teteknya yang kecil. Benar. Sutinah merasa kegelian. Aku minta dia menikmatinya. Sutinah diam, mulai menikmatinya. "Enak kan?" bisikku.
"Heemmm..." jawab Sutinah. "Kami pigi ke belakang duku. Cebik tempikmu pakai sabun sampai bersih, gi" kataku.
"Untuk apa Mas?" "Ikut saja apa aku bilang. Sana..." Sutinah mengikuti saranku. Aku ingin mendengar desahnya, seperti desah isteri Lek Parto. Sekembali SUtinah, aku suruh dia menelentang di lantai berlasakan tikar. Di rumah kami memang tak ada tilam. Sutinah mengikut. Aku mulai menjilati memeknya. Memek yang belum berbulu sama sekali. Memek yang masih ada satu garis dengan bibirnya yang sedikit membentuk.
"Ah..." Sutinah mulai mendesah, setelah lidahku mulai meliuk-liuk pada itilnya.
"Mas..." "Udah diam saja... Enak kok," kataku. Sutinah diam dan kembali mendesah-desah.
"Udah Mas. Aku mau pipis... udah," katanya. Aku meneruskan. Tak mungkin Sutinah berani pipis di mulutku, pikirku. Aku terus menjilati memeknya. Sampai dia menjepit kepalaku dengan kedua kakinya.
"Mas aku pipissss...." Desahnya. Aku terusmenjilatinya sampai akhirnya kedua kakinya melemas. "Udah mas. Kasihan Suti Mas," katanya. Cairan kental meleleh di ujung lidahku. Aku memeluknya.
"Maaf Mas. Aku tadi pipis di mulut Mas," katanya. Aku diam saja. Aku terus memeluknya dan menempelkan kontolku ke tempiknya. "Kamu masukin titit mas ke dalam mulutmu," kataku. Sutinah ragu.
"Ayo..." kataku. Sutinah duduk di sisiku dan memegang kontolku. Perlaha dia masukkan kontolku ke mulutnya. Kuminta dia memainkan lidahnya pada kontolku dan giginya jangan sampai mengenai kontolku. Sutinah melakukannya. Aku mengulur tarik kontolku dalam mulutnya. Sampai maniku menumpah di dalam mulutnya beberapa kali.
"Mas.." katanya. "Kalau kamu gak mau telan, ya dibuang saja," kataku. Suti pun meludahkan maniku dari mulutnya. Kuraih tubuhnya dan memeluknya sembari menciumi pipinya. Kami bepelukan lagi. Tak lama Suti mengatakan nasi sudah siap dari tadi dan kami harus makan.
Suti membuat nasi ke piringku dan ke piringnya bersama lauknya.
"Aku seperti ibu ya Mas. Dan Mas jadi bapak,: katanya. "Ya. Kita main suami-isteri. AKu suaminya dan kamu isterinya?" kataku pula mengikuti ucapannya. Dia tersenyum. Lalu Suti pun menirukan kelakukan ibu kepada ayah kami. Bagaimana ibu memperhatikan ibu dan memperlakukan ayah, begitu pula Suti terhadapku. IBu kami juga memangil Mas kepada ayah dan ayah memanggil bu ne kepada ibu kami. Ketika aku panggi namanya SUti, Suti memintaku agar aku memanggilnya Bu ne, sembari tersenyum. Aku mengikutinya. "Tapi kalau tak ada yang mendengar ya?" kataku. Suti mengangguk. Aku pun meanggilnya Bu ne. Nampaknya dia senang. Ya sudah.
Malamnya kami tidur untuk besok subuh kami harus melaut. Kami bepelukan.
Subuh Sutimembangunkan aku. Orang-orang sudah berlalu lalang mau melaut. Kami bangun, mencuci muka dan membuka pintu. Kami turun dari rumah melalui tangga. Di bawah rumah kami melepas perahu setelah mengisinya dengan jaring. Perahu memang tertambat di bawah rumah kami yang airnya lebih setinggilutut. Hampir sepinggang. Kami nak ke atas perahu.
"Bu ne, kamu jangan terlalu jauh ke depan, kataku. Dengan senyum Suti mengiikutiku dan berpindah mendekatiku ke belakang sembarimendayung. Kami mengikuti alur air menuju laut tengah. Dengan cekatan setelah berada 50meter di laut, Suti memacakkan tiang layar dan mengikat layarnya. Dia sudah cekatan nampaknya. Tali layar.dia pegang kuat dan mengulurnya sedikit jika perahu oleng. Aku memegang kemudi. "Bu ne bersandar ke dada Mas ya?" katanya manja. Dia sudah pula menyebut dirinya dengan kata Bu ne. AKu biarkan saja. Hari masih gelap, perahu-perahu kecil berlayar plastik putih keliahatan sudah mulai banyak di tengah laut. Kami mengikutinya dengan menjaga jarak, agar mereka tidak melihat Suti bersandar padaku dengan manja. "Kita ke tempat biasa ya Mas, "Kata Suti. Aku mengarahkan perahu ke sana. Tapi di sana sudah adadua perahu lebih dulu. Akhirnya kami mengarahkan perahu ke rimbunnya pohon-pohon bakau seperti sebuah teluk kecil. Kami mulai melepas jaring. Kemudian menariknya perlahan. Aku merasakan ikan-ikan bergetar di dalam jaring.
"Hati-hati, nampaknya ikannya banyak," kataku. Benar saja, ikan menggelpar-gelepar di jaring. Setelah melepas ikan-ikan itu, kami menebar lagi di tempat yang sama. Kami tarik lagi. TIga kali kami menebarnya, kemudian kami keluar dari teluk itu. Kami tersenyum. Tangkapan kami hari ini, lumayan baik.
Kutarik Suti mendekatiku dan kukecup bibirnya, seperti apa yag dilakukan Lek Parto pada isterinya.
"Kamu isap lidah Mas ya. Kita bergantian mengisap lidah," kataku. Suti menatapku. "Kamu mau ya Bu ne..." kataku meayunya. Suti tersenyum setiap kali aku memanggilnya Bu ne. Kulurkan lidahku dan Suti mulai mengemutnya. Kami bergantian. "Ayo sudah. Kita harus cepat ke darat. Nanti pembeli ikan pada pulang," kataku. Kami memasang layar dan mengarahkannya pulang. Perahu melayu agak kencang, karean angin yang hidup menolak kami ke darat.
Para pembeli ikan menyerbu kami dan kami menjualnya Seorang tentara yang ikut masuk desa mengawasi kami. Pembeli ikan tak berani macam-macam. Kami mendapat uang hampir dua ratus ribu rupiah.
Perahu kami kayuhke kolong rumah dan kami naik ke atas. Aku minta Suti membeli mi goreng dua bungkus dan aku memasak nasi. Begitu nasi masak. Suti sudah pulang dari membeli Mi goreng. Kami makan nasi bercampur mi goreng. Kami makan dengan lahap. "Kita tidur-tiduran lagi ya, Mas?" kata Suti. "Sebentar, biar Mas betulin jaring dulu. Setelah siap kita boleh todur. Kalau tidak, nanti kita keasyikan dan lupa memperbaiki jaring," kataku. Suti merajuk. "Sabar dong Bu ne..." kataku merayu. Suti tersenyum dan memelukku. "Iya mas. Bu ne ikut membantu ya?" katanya menyeret tanganku. Kami mengeluarkan jaring dari perahu dan menjemurnya, sembari memperbaikinya.
Ibu senang sekali, ketika aku dan Suti membezuk ayah ke rumah sakit. Kami membawa tiga bungkus mie goreng. Mie goreng di bukota Kabupaten ternyata jauh lebih enak dari di kampung kami. Satu untuk ayah, satu bungkus untuk ibu dan satu bungkus untuk kami bagi berdua. Selain itu, aku menyerahkan uang Ro. 200 ribu untuk ayah. Mana tau ada keperluan yang harus dibeli. Ayah dan ibu senang sekali. Kata ibu, kalau ung, tolong di simpan saja. Nanti kalau kami butuh, kami akan minta. Sebab kami di rumah sakit, semua obat ditanggung oleh pemerintah. Menurut ibu uang Rp. 200 ribu itu cukup untuk sepuluh hari. Ibu meminta kami agar jangan lupa makan, menjaga kesehatan dan ayah tak lama lagi akan dicabut oksigennya dari hidung. Infusnya juga akan dicabut. Ayah butuh istirahat tiga bulan lebih lagi, kata ibu.

Kami pun pulang ke kampung lagi. Kami beli beras secukupnya dan segala kebutuhan, seperti garam, bubik teh, gula dan sebagainya. Sutini senang sekali membelanjakan uang untuk kebutuhan kami satu minggu. Dia merasa benar-benar menjadi seorang ibu beneran. Sore setelah empat jam berkayu sepeda, kami tiba di rumah. Semua kebutuhan kami angkat ke rumah dan kami mulai masak bersama. Telur ayam, beras dan sebagainya kami angkat. Sementara Suti membenahi makan malam, aku membenahi jaring. Jaring aku perbesar dan perpanjang. Kami berharap, ikan akan lebih banyak dapat. Kalau selama ini jaring kamu sepanjang 18 meter, kini jadi 32 meter. Perahu terasa penuh berisi jaring. Seusai makan malam, kami tidur. Suti memakai kain sarung batik tanpa apa-apa lagi di dalamnya,. Dia menirukan ibu kami. Aku hanya memakai sarung dan kaos singlet. Setelah menyiapkan serantang nasi dan lauk telur rebus dan kecap kecil untuk bekal kami besok pagi du laut, kami mematikan lampu dan masuk tidur. Aku melepas semu pakaianku dan meminta Suti juga melepas pakaiannya. Kami tidur bertelanjang. Au tanya apakah SUti sudah cebok dan menyabuni tempiknya, Suti menjawab sudah. Kami tersenyum dalam gelap gulit. Hanya ada cahaya bintang memasuki rumah gubuk kami dari celah-celah dinding. "Kamu pernah melihat ayah menindih ibu waktu malam?" tanyaku pada Suti. RUmah kami tidak berkamar. Hanya dibatasi oleh kain saja, membedakan dimana ibu dan ayah kami tidur dan dimana aku dan Suti tidur. Suti menjawab pernah. Dua atau tiga kami kai pernah mengintip ayah dan ibu tidur tindih-tindihan di tengah malam, saat kami sudah tertidur lelap. "Ya sudah. Kita juga seperti tu," kataku. "Tapi Mas kan berat?" katanya. :Kalau ayah bisa menindih ibu, kenapa kamu tidak. Kita ciba saja," kataku. Suti setuju. Kami berpelukan dulu seperti ayah dan ibu. Berciuman seperti Lek Parto dan isterinya. Mengisap tetek dan menjilati memek dan mengemut kontol bergantian. Semua yang pernah kami lihat, kami lakukan. Ternyata memang enak. "Mas buka tempikmu ya. Mas masukkan titi Mas ke dalamnya ya?" kataku. Suti setuju. Setelah mejilati memeknya, aku tujukan ujung kontolku ke lubang memek SUti. Aku menekannya. Suti merintih. "Sakit Mas..." "Ya... Mulanya sakit, tapi nanti kalau sudah hilang sakitnya, jadi enak," kataku. "Memang Mas sudah pernah melakukannya?" tanya Suti. Aku bercerita, teman-temanku sudah pernah melakukanna dan mengatakan begitu. Suti pun mau. Ku tekan kontolku ke dalam lubang memeknya. Suti merintih. "Bagaimana, masih tahan?" tanyaku membiarkan kontolku di lubang memeknya. Suti diam saja. "Tapi betulkan, kalau sudah hilang sakitnya, pasti jadi enak kan?" tanyanya. "Ya.. pasti," kataku. Padahal itu hanya ucapan Lek Parto yang kutanyai dan bercerita tentang persetubuhan di bawah pohon kelapa sembari kami memperbaiki jaring. Kutekan lagi kontolku dengan lebih kuat. UJung kontolku terasa sakit. "Aduh.. Mas... Sakiiiiittttt," rintihnya. "Ya. Mas juga kesakitan kok. Bagaimana, KIta berhenti atau kita teruskan," kataku. Suti diam tak menjawab sembari menggigit bibirnya. Ketkika kucium pipinya, terasa olehku ada lelehan airmata di sana. "Maaf dik..." kataku. "Bu ne merasa sakit, Mas..." katanya meringis. "Maaf Bu ne. Tapi sebentar lagi gak sakit lagi kok. Mas janji Bu ne," kataku. Suti kembali senang dipanggil Bu ne. "Ya.. Sudah diteruskan aja Mas. Tapi pelan-pelan ya?" katanya. Aku menciumnya dan memeluknya, lalu menekan kuat-kuat kontolku. Sreeeggg... sreeeggg. Kontolku sudah terbenam semuanya. Suti menjerit agak kuat. "Massss..." Aku langsung menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya, agar suaranya tak keluar. Dia terus menangis. Aku membelai-belai rambutnya. "Sakit ya Bu ne..." rayuku. Suti terus menengis. Aku mengatakan, kalau kontolku juga sangat sakit. Tapi aku percaya dua hari lagi, sakitnya pasti hilang. Hari ketiga kita sudah menikmatinya. Suti pun tak menangis lagi. Tapi sesekali suara sesenggukan terdengar juga. Pagiitu, kami tidak ke laut, karena kesingan bangun. Ketika kami bangun, mata hari sudah menyapu-nyapu waja kami. Kami bangun dan aku menuntun Suti ke belakang untuk mandi. Aku takut juga, ketika Suti menangis saat melangkah. Katanya sangat sakit dan perih. Begitu juga saat dia pipis, katanya lubang pipisnya sangat sakit sekali. Aku jadi ketakutan dan sedih. Akhirnya setelah dia usai mamndi aku membopognya. Aku memasak nasi. Ketika kami makan, tubuh Suti hangat. Aku takut. Bu Mantri lewat dan aku memangilnya. Bu Mantri memagang kening Suti. Suti disuntik dan diberikan obat. Besok sudah tenang dan sehat, kata bu mantri. Aku senang. Setelahkusuapi makan, aku memberikannya obat. "Biar cepat sembuh ya Bu ne..." rayuku. Suti tersenyum. Akupun minta izin untuk memancing, agar kami nanti malam dan sore serta besok pagi kami punya lauk ke laut. Suti melepasku dengan senyumnya. Begtiu aku pulang membawa empat ekor ikan dan dua ekor kepiting serta 15 butir kerang, Suti melaporkan, kalau darah dari memeknya sudah berhenti. Kupegang keningnya sudah tak hangat lagi. Aku menyuapinya makan dan memberinya obat. "Besok aku belum bisa melaut Mas. Aku takut dingin..." katanya memelas. "Ya sudah Bu ne., Mas saja besok y ag melaut," rayuku sembari mencium pipinya. Suti nampaknya senang sekali. Kami pun tidur berpelukan dengan kegelapan malam. Ah... indah sekali rasanya tidur bertelanjang di bawah selimut sepotong kain batik. Suti sepertinya begitu erat memelukku. Dia kedinginan. Aku menebalkan selimut untuknya. Dia minta dikeloni terus agar hangat. Aku memeluknya. Subuhpun menjelang. Akuterbangun dan membanguni Suti. Cepat dia berpakaian dan menyiapkan bekalku. AKu berangkat ke laut dal;am lambaiannya. Kubisikkan padanya, agar semua kejadian dia tak boleh bercerita pada siapapun juga. "Bu ne janji, Mas..." katanya setengah berbisik. Aku menuruni tangga rumah memikul jaring menuju perahu. Aku mengkayuh menuju tengah laut. Setelah menebar sekali jaring, akupulang. AKu takut, Suti entah bagaimana. Aku menjual ikan dan langsung pulang. "Kenapa cepat pulag, Mas?" tanya SUti. Aku menjelaskan, hanya sekali menebar jaring dapat ikan sedikit dan langsung pulang. Aku takut kalau Bu ne entah kenapa-kenapa, kataku. Suti tersenyum manja. Dia memelukku Aku balas memeluknya. Nasi sudah siap, kami makan bersama, kemudian memberinya obat. Sudah empat hari, obat sudah habis dan Suti benar-benar sudah sehat. Langkahnya sudah pasti. Pipis sudah tak sakit lagi. Sudah biasa, katanya. Aku tersenyum. "Jika kita lakukan lagi, pasti sudah enak, tak akan ada sakit lagi," kataku memastikan. "Bu ne mau Mas...: katanya. "Setelah memperbaiki jaring, nanti kita mancing ke hutan bakau," katraku. Suti setuju. Maksudnya sebagai uji coba, apakah Suti sudah mampu mendayung dan siap memancing
Setelah makan siang, aku masuk k perahu dengan membawa pancing dan jala. Adikku Suti ikut. Perlahan kami mendayung ke laut. Orang-orang melihat kami dan kagum. Mereka tahu, kami kerja keras, untuk kehidupan dan untuk orang tua di rumah sakit. ABRI yang masuk Desa pun tidak memaksaku yang masih berusia 18 tahun untuk ikut bekerja membuat benteng kampung nelayan dan saluran ar.
Angin menyeruak dari laut. Kamu harus melawan angin untuk bisa sampai ke tengah laut. Bersama kami mendayung perahu. Udang dan sotong kecil sebagai umpan sudah kami bawa. Juga ada sedikit ubi goreng sebagai makanan selingan kami. Satu jam lamanya kami mendayung, akhirnya kami sampai juga pad sebuah paluh. Kami mulai menetak pancing kami di rimbunnya pohon-pohon bakau. Sesekali aku menebar jala. AKu kurang pintar mengembangkan jala. AKu berpikir, jika jala tidak kutebar, sudah pasti aku tidk dapat ikan. Setidak pandainya aku menebar, jalan bila dia kutebar, mana tau nasib berkata lain, aku bisa dapat seekor-dua ekor ikan. Benar saja, tali jalaku bergetar. AKu menariknya lamat-lamat. seekor ikan hampir sekilo beratnya tertangkap. Kakak merah yang nyasar ke paluh. Aku dan Suti gembira sekali. Kami akan menggorangnya, dan akan kami bawa ke rumah sakit untk ayah dan ibu. Tak lama, pancing Suti juga menangkap seekor ikan ukuran sedang. Kami senang sekali.
"Bu ne, kamu cantik sekali," rayuku. "Apa benar, Mas?" "Ya... benar kamu cantik sekali, kataku. Sebenarnya, kontolku sudah mengeras. Mataku awas ke sekeliling. "Maukah kamu mengisap tititku?" kataku memohon. Suti tersenyum manis. Dia menganggukkan kepalanya. Dia mendekatiku. AKu mengeluarkan kontolku dari balik celanaku. Suti berjongkok di lantai perahu. Kontolku yang sudah mengeras dia jilat lalu dia kulum dan mempermainkan lidahnya pada bagian bawah kotolku. "Aku senang, Mas..." katanya. Aku tersenyum. Kuelus kepalanya, lalu kusapu-sapu teteknya dari bawah. "Kalau dia keluar, boleh aku menelannya, Mas?" tanya Suti. "Terserah saja..." Kontolku kembali dimasukkannya ke dalam mulutnya. AKu melihat, Suti semakin dekat denganku. Perahu kami sesekali diterpa alun kecil, membuatnya bergoyang. Tapi ujungnya sudah kami tambatkan ke sebuah akar bakau. Aku semakin menikmatinya. Aku pun mengejang lalu aku menyemburkan maniku dalam mulutnya. AKu mendengar spermaku tertelan oleh Suti. "Asin Mas..." "Karena belum terbiasa," kataku. Aku pipis dari atas perahu dan mencuci kontolku dengan air laut. Aku tersenyum pada Suti. Dia membalas senyumku. "Kamu mau?" tanyaku? "Dijilat saja ya Mas..." katanya tersenyum. Aku mengangguk. Kuminta dia mencucui memeknya terlebih dahulu. Suti yang tak memakai celana dalam setiap kali kami melaut dan juga di rumah, menurutinya. Setelah bersih kuminta dia rebahan di kepingan lantai papan perahu. Aku melihat sekeliling. Aku yakin kami aman. Belum lagi aku memulainya, pancingku ditarik oleh ikan. Aku menariknya. Seekor ikan sembilang terangkat dan aku memasukkannya ke lantai dasar perahu yang berair, biar Kakap dan sembilangnya tidak mati.
Suti mengangkangkan kedua kakinya selebar mungkin. Betisnya berada di sisi perahu dan dia bersandar pada ujung perahu. Sesekali burung-burung kecil bersiul-siul di pucuk-pucuk pohon bakau. AKu memulai menjilati memeknya. UJung lidahku bermain pada itilnya. Sesekali kusedot itil itu dan lidahku pun menari-nari pada sebiji kacang memek-nya. Aku tahu Suti menggelinjang dan menikmatinya. Dia semakin mampu menikmati betapa enaknya dijilati. Sesekali dia mendesah. Desahnya cepat hilang ditelan angin laut. Kedau kakinya sudah berpindah. Kedau kakinya sudah berada di atas punggungku dan pahanya menjepit kepalaku. "Akhhhh...." desahnya kuat lalu melemas. Aku menghentikan jilatanku. Aku tahu Suti sudah sampai pada puncaknya. Dia tersenyum. Kami kembali menetak pancing kami, seperti tak terjadi apa-apa. Semenit kemudian, sebuah perahu melintas mau memasuki paluh. Orang itu, berhenti dan memutar haluannya, karena melihat kami dan paluh sempit itu tak mungkin dilintasi dua perhu yang bercadik. "Sudah banyak dapat?" orang itu menegur kami. "Baru satu Mang..." jawabku tenang. Kami meneruskan memancing. Suti tersenyum. "Dia melihat kita tadi, Mas?" tanya Suti. "Aku yakin tidak," jawabku. Aku kembali mengambil jala dan menbarnya. Sekali, dua kali, tiga kali dan kali yag ke empat, aku dapat dua ekor ikan ukuran sedang. Aku mengajak Suti pulang ke rumah, sebelum angin berbalik arah. Suti setuju. Kami mengayuh perahu keluar dari paluh. Suti menancapkan tiang layar dan menarik layarnya. Angin berhembus membawa perahu. Sore seperti itu, pasang naik dan angin mengencang dan kembali sedikit enang setelah tengah malam. Kami terbawa angin dengan cepat ke tepian.
"Ada dapat dik?" tanya pak tentara. "Satu ekor pak. Untuk kami masak dan kami bawa kerumah sakit untuk ayah," jawabku. Tentara itu tersenyum. "Ya... hatimu bagus sekali dik. Kamu sayang pada ayahmu. Begitulah seharusnya kepada orangtua," katanya bangga. Aku tersenyum. Kami meneruskan mengayuh perahu kami ke bawah kolong rumah dan menambatkannya. Delapan ekor ikan kami bawa naik. Tiba, tiba seorang ibu bidan mendatangi kami. "Sebentar lagi, kami ke rumah sakit. Ada titipan," kata bu Bidan yang ikut dengan tim ABRI masuk Desa. "Ya.. BU. Kami boleh titip ikan untuk ibu dan ayah?" kataku. "Boleh... setengah jam lagi aku ambil," kata bu Bidan. Kami cepat mempeisangi ikan-ikan itu. Kami goreng dan kami sambal. Ikan Kakap yang besar dan ikan Sembilang. IKa dan sambalnya, kami bungkus pakai daun pisang dan kami ikat dengan baik. Bu Bidan datang dan kami memberikan oleh-oleh untuk ibu. Setelah bu bidan pergi, Suti pergi mandi, lalu kususul, dan kami mun makan setelah usai shalat mahgrib. Kami mempersiapkan makanan untuk besok subuh ke laut. Semuanya sudah beres. "KIta tidur yuk... biar besuk cepat bangun dan ke laut. Kamu iku Bu ne?" tanyaku. "Ya mas. Aku ikut," kata Suti. Karena belum laurt, kami mengecilkan lampu saja di ruang tengah dan kami berangkat tidur dikelilingi kain pembatas. Dalam gelap kami melepas pakaian kami. Kami mulai berpelukan. "Kamu mau bukti, kalau sekarang sudah tidak sakit lagi, malah akan nimmat," kataku mulai merayu Suti. "Pasti gak sakit lagi, kan Mas?" "Ya.. pasti," kataku sembari mencium bibirnya dan melumatnya. Lalu aku mengisap-isap teteknya dan sebelah tanganku mengelus-elus memeknya. Suti mendesah-desah. AKu merasakan memeknya sudah ada lendir. "Mas masuki ya, Bu ne.." bisikku. "Ya.." Aku mengarahkan kontolku ke memeknya. Ujungnya sudah mulai menyentuh lubang memeknya. Perlahan aku menekannya. Perlahan dan perlahan. Masuk...masuk...dan masuk. "Sakit?" tanyaku. "Dikiiiiitttt..." jawabnya. Perlahan kutarik kontolku dan perlahan pula aku mendorongnya. Begitu terus bergantian. Suti mendesah dan memelukku. "Dimasukin semua, Mas..." pintanya mendesah. Aku menekan semakin dalam dan dalam. "Yang cepat Mas..." bisik SUti mendesah dan memelukkukuat. Aku menggenjotkan semakin cepat.... cepat dan cepat. "Ayo Mas... lagi.... ayooo...." Suti mendesah lagi. Aku menggenjotnya semakin cepat dan cepat dan cepat dan ccepat dan cepatttt. Tubuhku dan tubuh SUti demikian rapatnya. Lengket. Kami sama-sama mengejang dan melepaskan kenikmatan kami. Beberapa kali aku menyemprotkan mani ke dalam lubang Suti. Dia memelukku sekuat tenaganya.
Kami beperlukan dan kontolku yang melemas, lepas dari lubang Suti. "Kamu cantik sekali Suti.." biskku. "BUkan Suti Mas. Bu Ne..." bantahnya. "Ya... kamu cantik sekali Bu ne..." ulangku. Suti memelukku dan mengecup pipiku. Kami tertidur nyenyak. Kami terbangun saat menjelang subuh. Kami menyiapkan jaring dan memasukkannya ke dalam perahu. Kami pun menuju ke tengah laut, untuk mencari ikan dan akan kami jual untuk kehidupan kami.
Setelah sekian lama kami berdua di rumah, rumah kembali menjadi ramai. Ayahku kembali dari rumah sakit. Tak boleh kerja berat dulu. Tak boleh minum kopi, minum alkohol dan tak boleh tidur larut malam serta harus istirahat. Tubuhnya sudah mulai berisi. Ibu sudah boleh menjual ikan kembali bahkan ibu mulai mencari kerang, bila air surut. Kami senang. Justru
adikku Suti yang sedikit gelisah. Aku tak memanggilnya lagi Bu ne. Kecuali kalau berkelakar. Wajahnya selalu cemberut.
Besok Suti harus sekolah. Dia sudah mempersiapkan baju, sepatu, tas, buku dan sebagainya yang semuanya serba baru. Ayah dan ibu sangat senang padaku sebagai kakak begitu menyayangi adikku Suti. Kemanjaan Suti, membuat ayah dan ibuku semakin menyenanginya. Mereka senang kalau kami selalu dekat, karena hanya kami beruda anak mereka. Ayah dan ibu kembali menempat tempatnya di kamar kecil dekat jendela depan. Kami lebar membatasi tempat kami. Aku dan Suti tidur di sebelahnya. Kami berdua tersenyum mendengar ayah mendengkur. SUti pun tak mau diam tangannya. Dia mulai menggerayangi kontolku. "Ayo, Mas... mereka sudah tidur," bisiknya di telingaku. "Kapan-kapan saja. Nanti ketahuan," kataku. Dasar Suti kalau sudah ada maunya, susah untuk menolaknya. Dia terus mengelus-elus kontolku sampai kontolku tegang. "Aku ambil karet dulu. Supaya kamu tidak bunting" kataku. Kokoyak sebungkus kondom dan menddekatkannya padaku di bawah bantal. Suti membuka kancing bajunya dan mengeluarkan teteknya. "Ayo... Mas...." bisiknya merengek. AKu mendekatkan mulutku ke teteknya dan mulai menjilatinya. Saat itu ibu mendehem dari balik kain sebelah. Aku terus mengisapi tetek Suti. Bergantian kiri dan kanan. Setelah Suti puas, bibirnya mengecup bibirku. Kami berpagutan. Sampai akhirnya Suti meminta aku menaiki tubuhnya. Dia kangkangkan kedua kakinya dn memintaku menindihnya. Kubuka bungkos kondom dan memasangnya. Setelah siap, perlahan aku menaiki tubuhnya. Suti segera menangkap kontolku dan mengarahkannya ke lubang memeknya. Aku mulai menggenjotnya. Kami berupaya agar kami tidak ribut, agar tak terdengar pada ayah dan ibu yang tidur di sebelah kami dipisahkan oleh kain lebar. Sampai akhirnya Suti membisikkanku agar aku mempercepat genjotanku. Aku mempercepat genjotanku. Saat itu, betisku dicubit. Ketika kutolehke belakang, ternyata yang mencubit betisku adalah ibuku. Ibu menggelengkan kepalanya dengan tatapan melotot. Tapi pucakku sudah beradadi ubun-ubun. Aku meneruskan genjotanku dan Suti menggoyang tubuhnya dan merangkulku dengan erat, sampai kami melepaskan nikmat kami bersama.
Kontolku semakin mengecil dan terlepas dari memek Suti. Kami menutupi tubuh kami dan tertidur seperti biasa, layaknya tak terjadi apa-apa. Tapi aku sudah susah tertidur, karena memikirkan, apa yang dilakukan ibu barusan. Dia mencubitku. Kami telah tertangkap basah melakukan hubungan suami isteri. Akhirnya aku tertidur juga. Ibu membangunkanku, saat subuh mulai tiba. Ibu sudah menyiapkan nasi dan lauknya ke dalam rantang plastik untuk kubawa ke tengah laut.
Ibu membantuku menurunkan jaring ke dalam perahu. Aku hanya diam dan malu, karena ibu mengetahui apa yang kami lakukan tadi malam. Cepat-cepat aku meluncurkan perahu dari kolong ruah melalui alur air ke tengah laut. Segera kupasang layar dan aku menuju tengah laut. Pikiranku masih tetap juga tak tenang. Akhirnya kulemparkan jaring. Beberapa kali sampai matahari meninggi dan terang. Para nmelayan lain sudah menuju daratan, sementara aku masih terus menebar jaring. Tangkapanku harini benar-benar gawat. Mungkin aku yang kurang konsentrasi, atau lagi sial. Akhirnya aku pulang hanya membawa sedikit ikan. Ibu sudah menungguku di tepi pantai. Kami menjualnya dan memberi dua kilo beras. Hanya itu yang bisa kami peroleh hari ini. Ketka aku mendayung perahu pulang ibu mendekatiku. Dadaku berdebar. "Apa y ang kamu lakukan tadi malam sama adikmu?" tanya ibu datar. Aku diam. Ibu bertanya lagi dan aku hanya diam. "Sudah berapakali kamu lakukan?" tanya ibuku. Lagi-lagi aku diam. Ibu tau, aku melakukannya dengan Suti sudah sering. Katanya dia melihat kami begitu menikmatinya dan Suti serta aku seperti suami isteri yang sudah terbiasa melakukannya. Kembali aku hanya diam saja.
Perahu sudah memasuki kolong rumah. Aku mengangkat jaringku untuk kuperbaiki. Ibu datang membantu setelah dai selesai masak nasi dan lauk serta membawakannya untukku. Aku makan, kini giliran ibu melihat jaring yang rusak. Ketika kami kembali melakukan perbaikan bersama, ibu menasehatiku, agar aku tak melakukannya lagi, karea akan menjadi aib, kalau Suti hamil. Ibu tidak tahu, kalau aku memakai kondom. Aku sudah menyembunyikian kondom dengan rapi di tempat yang tak mungkin ditemukan. Aku hanya tertunduk. Perbaikan jaring pun selsai.

Ibu mengajakku untuk mencari kerang ke pulau kecil takberapa jauh daripantai dan mencari kepiting. Kepiting boleh dijual besok, karean dia susah matinya. Aku menyetujuinya, agar ibu tak marah lagi pikirku. Setelah meminta izin ayah, kami melaut. Sebuah pulau kecil yang sunyi. Ibuku turun dari perahu. Dia mulai meraba-raba lumpur untuk mendapatkan kerang. Lumayan juga hasilnya ada dua meber besar. Kami pun mulai memasuki akar-akar bakau mencari kepiting. Perahu kami tambatkan di sebatang bakau. Ibuku yang bersia 37 tahun cekatan mencari kepiting. Kami mendapatkan beberapa ekor dan aku mengikatnya lalu memasukkannya ke dalam perahu.

Pulai itu sunyi. Sepi. Hanya terdengar suara desau angin, sesekali hempasan gelombang kecil dan cicit burung. Sesekali terdengar kepak sayang bangau, hinggap di pucuk bakau mengintip ikan kecil. Melihat bangau mulai ramai di pohon bakau, aku mulai menebar jaring, pastibanyak ikannya. Kalau tidak, mana mungkin bangau mau datang mengintipnya. BVenar sana, tebaran pertama aku mendapat tiga ekor ikan ukuran sedang. Beberapa kali aku menabar jala dan mendapatkan sembilan ekor ikan. Cukup untuk lauk kami sekeluarga.
"Kita ke pancuran, Bu. Kita mandi dan mencuci tubuh kita yang bau lumpur," kataku. Ibuku setuju. kami naik perahu menuju pancuran dan mengambil air dalam jerigen. Aku mandi tanpamembuka celanaku. Membersihkan tubuhku. Ibuku juga mandi dan mengibas-ngibaskan celana pendeknya yang terkena lumpur. Aku melilhat bayangan tubuh ibu dari kainnya yang basah. Teteknya membayang dari kaos basah yang dipakainya. Zakarku membesar. Tapi dia ibuku. Ibuku... tak mungkin.... "Kamu nengok apa?" tanya ibuku. Aku tersipu malu dan menunduk. Lalu ibu meneruskan mandinya dan mengangkat baju kaosnya dan aku melihat jelas teteknya. Aku berdiri dan menatap laut. AKu tak melihat satu pun perahu. Benar-benar sepi.
"Bu..." sapaku. Ibu menoleh. Aku mendekatinya. Aku memeluknya dari belakang. "Ada apa tole...?" tanyanya. Aku diam. Mulai meremas tetek ibuku dengan sebelah tangan dan sebelah lagi kumasukan melalu celananya yang berkaret. Kuelus jembutibuku. "Ikh... kamu ini bagaimana....?" kata ibuku menepiskan tanganku. Cepat kupelorotkan celana ibu. Terus sampai mata kakinya, hingga ibu benar-benar tidak mengenakan apa-apa dari pusat ke bawah. "He... kamu ini kenapa?" Aku diam dan hanyamemeluknya. "Kamu mau buat aku seperti Suti, ya?" Cepat kusogok kontolku dari belakang. Ibu berbalik dan aku langsung memeluknya dan menyogokkan kontolku disela-sela memeknya. "Kamu ini..." kata ibu marah dan menolak tubuhku. Aku lebih kuat memeluknya dan kedua kakiku sudah berada di antara kedua kakinya. Kusandarkan ibu di batu besar dan landai. Langsung kusetubuhi. "Kamu ini... " kata ibu berteriak. Aku yakin, tak akan ada orang yang mendengarnyadalam sunyi ini. Terus kusetubuhi ibuku. Sampai aku merasakan memek ibu menjadi licin. Aku tau, kalau selama dua bulan lebih di rumahsakit, ibu tak mungkin bersetubuh. Aku terus menyetubuhinya. sampai akhirnya, ibu tak lagi berteriak dan menolak tubuhku. Ibu mulai menggeliat dan mengelinjang saat teteknya aku emut dan aku hisap-isap.

"Oh... kamu ini kurang ajar sekali, Tole..." katanya mendesah. Aku tak memperdulikannya. Kontolku terus maju-mundur dalam liang memeknya. Ibu pun... memelukku dari bawah. kami saling berpelukan dan erat sekali dan melepaskan keinkmatan kami bersama pula. Kucabut kontolku. Ibu tertunduk lesu. Diameneteskan airmatanya dan meleleh di pipinya. Aku membujuknya dan dia menepiskan tanganku. Kuajak dia naik ke perahu dan akumulai melepaskan tali ikatan perahu. Aku sengaja membawanya berbelok-beloj di sela-sela pohon bakau untuk mencari, mana tau ada kepiting lagi, sembari pulang. Kuminta ibu duduk di belakang dekat denganku, agar perahu bisa melaju. Ibu mundur dan mendekat ke arah diriku. Kupeluk ibu dari belakang dan membisikkan kepadanya agar dia memaafkan aku. Ibudiam saja. Kontolku merapat ke pinggangnya dan aku mengelus teteknya lagi.
"Ah... jangan... ini laut. Nanti hantu laut marah," katanya. Aku diam saja dan tersmemilin teteknya dan menciumi tengkuknya. Kontolku kembali berdiri dan kuilepas celanaku ke bawah. Lalu kulepas pula celana ibuku hingga terlapas dari kedua kakinya. Ibukusudah setengahtelanjang. Kuangkat ibu ke pangkuanku, membelakangi diru. Kumasukkan kontolku dari belakang. "Ah... kamu ini..." ibuku mendesah. aku terus menusukkannya Sampai jauh ke dalam. Perahu bergoyang-goyangdan aku menimmatinya. Ibupun mulai menjepit kontolkudan menekan pantannya agar kontolku masuk ke dalam.
"Ahhh...." katanya mengocok kontolku dan kontolkupun mengeluarkan sperma. Cepat kami memakai celana kami dan berkayuh pulang. Dalam perjalanan ibu bertanya dengan wajahnya menatap ke haluan nan jauh. "Kamu dan Suti melakukan ini juga di sana, kan?" tanya ibu. Aku diam. Ibu juga diam.
Saat kami tiba di rumah, ayah katanya ada di warung minum teh manis panas.
Sejak saat itu, aku dan ibu, suka melakukannya. Tidak di rumah, tapi di hutan bakau saat menangkap kepiting. Kodenya, ibu atau aku yang mengajak untuk menangkap kepiting. Jika menangkap kepiting, pasti kami melakukannya. Tak perduli walau kami hanya membawa dua ekor kepitingsaja. Berkali-kali dan berkali-kali. Akhirnya ibuku hamil. Kami yakin, anak itu adalah anak kami.

Jika aku mengajak Suti menangkap kepiting, ibu hanya cemberut. Dia juga tahu, kalau aku dan Suti pasti melakukan persetubuhan. Rahasiaku dan Sutidiketahui oleh ibu, tapi rahasiaku dan ibu tak seorang pun yang tahu.
Sudah dua hari ayah pulang dari rumah sakit. Dia harusbanyak istirahat. Tidak boleh inum alkohol, kopi, merokok dan keluar malam. Makan obat harus terus diawasi dan dipaksa, jika ayah menolak. Demikian nasehat dokter. Setelah seminggu ayah di rumah, ternyata aku dan adikku Suti, sudah tak tahan lagi. Malam ini, Suti meraba kemaluanku. Tentunya setelahmendengar ayah ngorok dan tertidur pulas. Tempat tidur kami, hanyaq dibatasi oleh tirai kain. Aku meliriknya dan memeluknya. kami berciuman. Suti membuka kainnya dan menyodorkan teteknya padaku untuk aku hisap dan jilati. Aku melakukannya dan aku sudah tak tahan lagi. Aku pelorotkan celanaku sampai lepas dan Suti juga melepaskan kain sarungnya. Dengan cepat SUtimenaiki tubuhku dan menggoyangku dari atas. Kurangkul tengkuknya dan kubisikka padanya agar pelan-pelan. Jangan sampai ibu dan ayah mengetahuinya. Mulanya Suti mengikutinya, tapi nampaknya laranganku dilanggar lagi, sampai dia puas dan lemas.
Mulai aku membelaikkan tubuh. KIni aku sudah berada di atas tubuhnya. Perlahan kupompa tubuh Suti dan menindihnya dari atas, sembari menicumi bibirnya dan lidah kami berpautan. Aku sudah semakin memuncak dan aku juga tak mampu bergerakpelan. Kugenjot tubuh Suti dengan kuat sembari memeluknya. Saat itu, betisku dicubit. Aku melihatnya ke belakang. Oh.. ibu yang mencubit betisku. Tapi kenikmatanku sudah berada di atas da aku meneruskan memompa tubuh Suti, sampai kami sama-sama menikmati kepuasan. Lalu kami berpelukan dan memakai pakaian kami sembari tidur.
Ibu membangunkan aku dan Suti. Ibu mengajakku untuk sama turun ke laut. Sedang Suti, tiba waktunya harus ke sekolah. Aku mengangkat jaring dan memasukkannya ke dalam perahu. Baru saja kami mengkayuh perahu dan belum mencapai bibir laut, ibu bertanya kepadaku. "Tadi malam kamu dan Suti ngapain? Dia kan adikmu. Sejak kapan kamu dan Suti melakukan itu," tanya ibu. Mulanya aku diam. Ibu terus mendesak agar aku memberikan jawaban. Ibubenar-benar marah. AKu takmampu menjawab pertanyaannya. "Sejak kapan, tole," desak ibu. "Sejak ibu dan ayah ke rumah sakit," jawabku menunduk sembari terus mengkayuh. Kami pun tiba di bibir pantai. Aku memasang layar. Ibu berusia 37 tahun dan gtubuhnya yang mungil, ntapi marahnya segunung. Akhirnya ibu diam saja. Aku juga diam.
Aku membuang jaring ke laut dan ibu ikut membantunya melepas jaring-jaring itu. Hari ini, memang rezeki kami sangat mujur. TIga kali kami membuang jaring, ikan-ikan demikian banyak kami tangkap. Rata-rata ukuran sedang. Saat nelayan lain sudah pada pulang, kami masih menarik jaring.
"Kita kemana?" tany ibu, sat perahu kubawa ke tepi pulau kecil. "Mandi Bu. JUga makan. Kita makan di sini sana, lebih teduh dan enak," kataku. Perahu merapat ke pantai dan aku langsung menuju pancuran. Aku membuka seluruh pakaianku bertelanjang aku menadah air pancur yang sejuk di kepalaku. Aku tahu ibu datang dari belakang, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Ibu menunggu aku siap mandi. Gantia kami mandi di pancuran itu. Ibu pun mandi telanjang juga setelah di memintaku untuk berjaga-jaga. Aku mengintipnya. Tubuh ibuku, membuat aku nafsu sekali. Selesai ibu mandi, kami makan bersama di tepi pancuran itu, sembari melihat perahu kami yang tertambat. Kontolku masih saja menegang dan aku secepatnya makan. Ibu juga mengikutinya, karea hari sudah pukul 07.00. Kami harus sampai pukul 08.00 di pantai agar pembeli ikan tidak keburu pulang.
Saat ibu mengangkat kakinya, dari celana pendek yang dipakai dan longgar, aku mengetahui ibu tidak memakai celana dalam. Aku melihatnya tadi waktu dia memakai celana. Kurangkul ibu dri belakang.
"Ada apa, Tole?" tanya ibu perlahan. Aku diam saja. Ibu bertanya kembali, karean pelukanku belum lepas. Perlahan kutarik ibu ke sebuah batu besar yang agar ceper. Langsung kupeluk ibu. Ibu meronta dan melawan. Dia sangat berang dan marah. Aku sudah tak perduli. Kusentap celananya sampai lepas dan aku juga dengan cepat melepas celanaku. Ku peluk ibuku dan kuciumi lehernya. Ibu tetap meronta dan menolakku. Tapi aku sudah berada di antara kedua kakinya dan kumasukkan kontolku ke memek ibu. Perlahan kudorong. Saat kuraba, memek ibu sudah basah dengan air kental. Cepat aku sadar, kalau ibu sudah nafsu juga. Kusorong pelan-pelan kontolku ke lubang memeknya dan secepat itu, kontolku lenyap di dalam memeknya. Aku molau memompanya,walau ibu terus menerus meronta bahkan mearik rambutku dengan kuat. Aku semakin tak perduli. Terus memeluknya, menciumi lehernya dan memompa tubuhnya dengan lebih cepat. Aku merasa jambakan tangan ibu di rambutku sudah melemah. Aku terusmemompanya dan menciumi lehernya. Sampai akhirnya aku memeluknya kuat dan menekan sekuat-kuatnya kontolku ke dalam dan melepaskan beberapa kali spermaku di dalamnya. Saat itu, aku merasakan ibuku balas memelukku, walau malu-malu. Saat aku mau mencabut kontolku, saat itulah ibu memelukku da menahan pantatku. Aku urung menarik kontolku. Yang kudengar mulut ibu mendesis-desis dan akhirnya dia melepas pelukannya.
"Kamu memang anak kurang ajar. Biadab sekali kamu," bentakibu pdaku sembari menangis. "Sudah bu, Maafkan aku," kataku sembari memeluknya. Ibu meronta. "Jangan!" bentak ibu. Aku membujuknya, sampai akhirnya ibu diam dan aku membimbingnya ke atas perahu.
"Jangan sampai terlang lagi!": bentak ibu. AKudiam. Kupasang tali layar dan perlahan aku mengkayuhnya. Kumintaibu duduk dekat denganku dibelakang, agar haluan perahu terangkat sedikit dan perahu kami bisa berjalan dengan cepat. Ibu mendekat. Akhirnya tubuh ibu kukepit dengan kedua kakiku. Kontolku walau dari balik celana tertempel ke punggung ibuku. Kedua tangan ibu sengajakubimbing berada di paha kiri dan kananku. Saat perahu perlahan berlayar dan laut sepi, karena semua nelayan sudah berada di tepian pantai, aku takmampu menahan kontolku yang sudah tegang dan keras. Dengan sebelah memegang kemudi, sebelah lagi tanganku kumasukkan ke kaos ibu dari atas dan aku meremas tetek ibu dengan lembut. "Ah.. ada apa lagi..." kata Ibu meronta, sampai perahu oleh. "Ibu diam. Kita akan terbalik nanti," kataku. "Kamu ini bagaimana? Apa kamu tidakmengerti jangan diulangi lagi, Mengerti!" bentak ibu. Tapi aku terusmeremas tetek ibu. Bergantian. Aku sengata membawa perahu melalui sela-sela pohon bakau agar teduh dan sepi. Cepat kulorotkan celanaku dan melorotkan celana ibu. "Aduh gusti, kamu ini....!!!" Aku tak perduli. Kuangkattubuh ibu ke atas pangkuanku, walau dia membelakangi tubuhku dan kami sama-sama menghadap ke depan. Aku tahu, ibu sudah berbulan-bulan tidak bersetubuh. Cepat kucelupkan kontolku ke lubang memek ibu.
"Akh... " kata ibu. Tapi kontolku sudah berada di dalam. Perahu terus berjalan dengan santaidalam tiupan angin yang sepoi. "Aduh.. bagaimana ini Tole," tanya ibu padaku. "Ibu diam saja. Kita akan cari waktu yang baik, kita ke pulau dan kita akan memuaskan diri kita dengan tenang," katraku merayu. "Biadab kamu !" bentaknya. Suara desau angin dan ombak-ombak kecil membuat perahu bergoyang-goyang. AKu memeluk ibu dari belakang dengan sebelah tangan dan... "Ibu... aku mau sampai. Sebentar lagi, aku akan mencabutnya. Tenanglah..." kataku. "Dioam kamu biadab. Coba kamu cabut. Tunggudulu," bentak ibu. Aku diam dan memeluk erat tubuh ibu serta melepaskan spermaku.
"Sudah, Bu. Aku sudah sampai," kataku lirih. "Tungu. Jangan kamu cabut dulu. Kurang ajar kamu," bentak ibu lagi. AKu diam saja. Sampai akhirnyaibumendesah dan diamencabut sendiri kiontolku yang sudahlemas. Ibu memakai kembali celananya. Aku juga. Kami terus menuju pantai. Pembeli masih ada yang menunggu kami membeli ikan. Ikan kami jual dan kami kembali ke rumah kami.Aku segera mengangkat jaring ke bawahpohon kelapa 50 meter dari rumah dan memperbaikinya, ibu mempersiapkan makan siang untuk kami sekeluarga.
Ibu membawakan segelas kopi panas padaku dan dua buah pisang goreng dan meletakkannya dekatku. Ibu ikut membenahi jaring-jring, agar besok kami pakai lagi. Ibu duduk di dekatku. "Awas ya... kalau kamu bercerita kepada siapa saja. Kubunuh kamu.." ancam ibu. Aku tersenyum. "Bukannya menjawab, malah tersenyum," kata ibu membentak dengan suara tertahan, takut di dengar orang lain.

"Ya... pasti aku tidak bercerita apa-apa," kataku tenang. Ibu pun tersenyum. Ayo cepat dibenahi, biar kita cari kerang dan kepiting," kata ibu. "Aku buatkan teh manis dyulu dan botol. Cepat masukkan jaring ke dalam perahu," kata ibuku. Aku mengikutinya. Jaring kusimpan ke dalam perahu dan memasukkan jala serta memasyukan alat-alat penangkap kepiting juga. Saat aku melepaskan perahu dari tambatannya di bawah kolong rumah kami dan meyorongnya ke aliran air yang agak dalam. Ibu berjalan sampai ke pantai. AKu tahu, dia akan menaiki perahu di sana, karena aliran sungai kecil, masih dangkal. Aku menjalankan perahu dengan menolak galah ke dasar lumpur. Bukan mengkayuhnya.
Begitu aku tiba di tepian laut, ibu tersenyum menyambutku. Ibu cepat naik ke perahu dan ikut mengkayuh. Orang-orang maklum. Mereka tahu, kalau kami butuh banyak uang untuk menyekolahkan adikku Suti dan mengobati ayahku. Kami harus bekerja keras. Orang-orang kapung pun kagum melihat kerja keras kami. Satu jam lebih kami mengkayuh dan sambil bercerita. Ibu banyak bertanya tentang Suti dan menasehatiku, agar jangan sampai hamil. Kami akan mendapat malu sekampung, katanya. Aku setuju. Tapi aku minta ibu harus rela juga, kalau sekali seminggu, aku membawa Suti ke pulau bakau untuk menangkap kepiting. Alasanku menangkap kepiting, tapi ibu sudh mengerti maksudku, agar Suti juga mendapat giliran. Ibu diam tan membantah.
Sampai di tempat kami menjatuhkan sepuluh buah alat penangkap kepiting ke laut dengan umpan usus ayam, entah darimana ibu mendapatkannya. Aku memasang juga sepuluh buah pancing dengan umpannya dan menancapkannya ke beberapa tempat, untuk memancing ikan sembilang. Kini iabu yang turuna ke lumpur untuk meraba lumpur mendapatkan kerang. Orang-orang berseliweran. Melihat kami sudah berada di tempat memasang jerat kepiting dan mengembangkan jaring, perahu-perahu itu pun berlalu. Sesekali terdengar teriakan. Udah dapat banyak belum....? Aku menjawabnya dengan sambil lalu:" baru turun paaaakkk." Mereka pun berlalu, bahkan banyak yang pulang, karean kosong tak dapat apa-apa. Ibu mengantarkan beberapa keranjang kecil kerang ke atas perahu. Di akar bakau, ibu mengelus kontolku. Tangannya dia masukkan dari atas karet celanaku. "Bu, hati-hati, nanti aku jatuh, " kataku. Ibu tersenyum. Kontolku cepat mengeras. Ibu menurunkan celanaku sampai ke mata kaki. Aku berpegangan ke pohon bakau dan menungghingkan dirinya.
"Ayo cepat... ibu sudah tak tahan. Cepat!" katanya. Aku menyodokkan kontolku perlahan ke lubang memeknya. "Ayo.. yang dalam... dalam lagi," katanya. Aku memeluk tubuh ibu dan mengocok kontolku dalam memeknya. Tiba-tia tersengar suara desir air. Pasti perahu yang datang. Aku mencabut kontolku dengan cepat. Menaikkan celanaku dan ibuku juga menaikan celananya dengan cepat. Dia melangkah ke atas perahu dan mengambil sebotol teh manis dan membawanya ke akar-akar pohon bakau. Saat teh tertuang ke dalam gelas, perahu kecil itu lintas. Sebuah perahu kecil.
"Suti...." panggil ibu. Ternyata yang datang ke tempat kami adalah Suti menaiki perahu tetangga tanpa cadik. Suti tersenyum dan menepi. Dia naik ke akar bakau dan membawa beberapa potong goreng sukun. Kami memakannya dengan riang. Ibu menatapku dengan tajam. Dia tandatanya, kenapa Suti harusmenyusul. Apakah Suti sudah curiga?

Setelah meneguk beberapa teguk teh manis, ibu kembali meraba lumpur berpura-pura mencari kerang dan meninggalkan, kami. Aku menyibukkan diri mendekati bebetrapa pancing yang kupasang. Ada dua pacing yang bergoyang-goyang. Aku menariknya dengan cepat. Ya... dua ekor ikan sembilang trangkat dan kulepas dari pancing serta memasukkannya ke dala perahu. "Kapan kita berdua ke tempat ini?" tanya Suti. "Kitabuat jadwal setiap minggu pagi dan mingu sore. Saat kamu tidak sekolah dan latiha pramuka," kataku. "Benar ya, Mas..." pintaSuti setengah berbisik. "Benar.." aku janji, kataku. "Kalau begitu Suti pulang ya..." Suti pun pulang meninggalkan tempat itu. Saat itu ibu datang setelah mencuci tubuhnya yang berlumpur dengan air laut yang bening. Dia mendatangiku ke akar bakau. "Suti bilang apa?" "Dia minta jatah. Kapan aku bersamanya?" kataku berterus terang. Aku menceritakan pada ibui, setiap minggu pagi dan minggu sore atau kalau SUti tidak latihan pramuka dan kalau ibu berhalangan. "Kamu tidak bercerita apa-apa tentang kita kan?" tanya ibu. Menurutku inilah kesempatanku. "Tidak bu. Tapi nampaknya Suti curiga. Untuk itu, dia harus dapat kesempatan. Kalau tidak dia akan membuntuti kita terus," kataku berpura-pura. Ibu menjawabku dengan memberiku ciuman di pipiku.
"Kamu anak pintar tole..." kata ibu dan meremas kontolku lagi. Suara-suara burung bercicit-cicit di atas dahan-dahan bakau dan sesekali mereka berkejaran. Ibu melepaskan celananya dan kini dari pusat sampai ke bawah, telah telanjang. Tubuhnya masih padat dan bulukemaluannya sangat tipis membuat belahan memeknya jelas terlihat. Aku bersandar ke pohon bakau. Ibu langsung menaiki tubuhku. Aku berada di antara kedua kakinya. Ibu memasukka kontolku ke lubang memeknya sampai masuk semuanya. Aku memeluknya dan menaikkan baju kaosnya, sampai kedua teteknya tergantung. Mulutku menghisap-hisapnya. Ibu terus memutar-mutar tubuhnya, hingga terasa kontolku menyentuh-nyentuh lubang terdalam dari memeknya. Dan ibu histeris dengan lenguhannya yang kuat dan memelukku kuat sekali.
"Ibu sudah sampai," kataku. Ibu diam saja dan terus memelukku. Kni giliranku menghenjut-henjutnya dari bawah. Sampai aku melepaskan spermaku. Kami berpelukan dan melepaskan nikmat kami. Akhirnya, kontolku lepas dari lubang memek ibu. Ibu tersenyum. Dia menaikkan celananya dan aku juga. Kami megangkati jerat-jerat kepiting. Ada beberapa yang dapat dan ada yang masih korong. Kami menjatuhkannya kembali. Jaring yang kutebar perlaha kutarik dan ada beberapa ekor ikan kecil yang dapat. Cukup utuk lauk makan kami malam ini dan untuk bekal besok subuh.
"Bagaiamana? Apa kamu dapat menikmatinya?" kata ibu. Aku diam saja. "Ya.. pasti Suti lebih nimmat, kan?" katany aketus dan cemburu. Aku diam juga. "Kalau kamu merasa sudah longgar, ibu akan berikan yang lebih sempit dan lebih enak," kata ibu. "Bagaimana bisa sempit?" kataku. "Apa kamu mau?" tanya ibu. Aku mengangguk. Ibu dengancepat menurunkan celanaku dan memasukkan kontolku ke mulutnya. Kontolku dijilatinya. Wah.. aku belum pernah merasakan nikmatnya dikulum seperti itu. Setelah kontolku keras, ibu melepas celananya dan dia menunggingkan tubuhnya dan berpegangan ke pohonbakau. "Ayo masukkan itu mu ke lubang belakang ibu," katanya. Aku seperti tak yakin.
"Ayo cepat. Nanti orang datang," katanya. Aku menusukkan kontolku ke mulut lubang belakangnya. Kutusuk lubang belakang itu dengan kuat. Kepala kontolku sudah menembusnya.
"Perlahan saja. Berhenti sebentar," kata ibu. Lalu aku menusuknya kembali. Setelah setengah kontolu masuk ke lubang belakangnya, aku merasa kontolku dipijat-pijat. Aku mearasa nikmat.
"Ayo ditusuk terus," kata ibu. Aku menusuknya.dan mencabutnya. Bagaikan aku menusk dan mencabut di lubang memeknya.
"Kalau mau keluar, keluarkan di lubang memek ib," pinta ibu. Aku memeluknya dari belakang sembari terus mencucuk cabut kontolku di lubang yang nikmat itu. Sebelah tangan Ibu meraba-raba memeknya. "Bu.. aku mau keluar..." "Cepat cabut dan masukkan ke lubang memek ibu," katanya. Aku mencabutnya dan dengan cepat aku mencucuknya ke lubang memeknya. Aku memeluknya dan melepaskan spermaku di dalam lubang memeknya. Ibu pun kembali histeris dengan nimmatnya. "Bagaimana... enak kan?" tanya ibu. Au tersenyum.
Kami menarik semua jerat peiting. ada yang kena ada yang kosong. Kami harus pulang, sebelum matahari terbenam. Ibu naik ke perahu dan kami sama menaikkan layar, karena angin masih dari laut ke darat. Kami berlayar dengan perasaan kami masing-masing.
"Kapan-kapan, aku boleh melihatmu bersama Suti?" tanya ibuku. "Bagaimana caranya, Bu?" "Kita bertiga ke bakau ini dan aku berpura-pura mencari kerang di seberang sembari meilhat orang. Kalau aku bernyanyi-nyanyi, itu pertanda ada orang. Kalau tidak kamu boleh teruskan dan ibu akan mengintip," kata ibu. Gila pikirku. Aku diam memikirkannya. "Tapi kalau Suti mengintip kita, boleh enggak?" tanyaku. "Suti tak boleh tau. Bisa bahaya," kata ibu. Aku berpikir. Ya... Suti tak boleh tau."Bagaimana?" tanya ibu mendesak. Sebuah desakan yang susah kujawab. Diam-diam, aku mencintai Suti adikku sendiri. Aku menyayanginya. Akhirnya aku pu setuju, kalau ibu boleh melihat aku denganSuti, supaya satu saat nanti ibu muak dan dia tak mau lagi bversetubuh denganku. AKu setuju. Ibu pun tersenyum. Kami sampai di rumah dan membawa hasil kami untuk dimasak untuk makan malam. Suti ikut membantu membersihkan ikan sembilang dan kepiting disimpan untuk besok pagi di jual. Cukup untuk membeli dua kilo beras.
Ibu sangat puas mengintip aku dan Suti berciuman mesra dan saling membelai. saling mengulurkan lidah. Aku menjilati teteknya dan megelusnya. Sutri berada di pangkuanku dan kami berpelukan dengan mesra dan saling mebelai. Aku tahu, ibu mengintipku dari belakang Suti. Aku tahu ibu berahi mengintip kami. Aku tahu ibu meraba memeknya. Ibu juga tahu, kalau aku sangat meikmati persetubuhanku dengan Suti dan sampai akhirnya aku membuang kondom ke laut. Aku yang menjagadiri dengan SUti, kalau tidak nampaknya Suti mau nempel terus dan bermanja terus. Aku hanrus menjaga mata orang-orang kampung.Saat Suti sekolah, aku mendengar pertengkaran kecil ibu dan ayahku. “Kpk kamu bisa hamil, Bune…” kata ayah. “Lho kok bisa hamil? Pertanyaanmu kok aneh. Apa kontolmu tidak mausk ke puki-ku?” tanya ibu tak kalah sengit. “Tapi aku kan pakai kondom?” kata ayah. “Ya enggak tau. Kita tanya saja petuigas KB,” kata ibu. Tak lama kebetulan bu Ningsih petugas KB dari kecamatan lewat di lorong rumah kami. Aku melihatnya dari atas perahu di kolong rumah. Aku mendengar percakapan mereka. Bu NIngsih mengatakan, “Mungkin konromnya bocor, jadi bisa hamil. Kalau hamil ya sudah, soalnya kan Sutinah sudah SMP jadi sudah bisa hamil lagi,” kata bu Ningsih. Ayah pun diam. Ibu pun dengan kasar membentak ayah setelah bu Ningsih pergi. “Tuh… jadi jangan tanya-tanya kenapa aku bisa bunting. Yang jelas yang bikin aku bunting, kontolmu sendiri,” kata ibu sangat sengit dan ketus, membuat ayah terdiam tak berkutik. Bahkan tersenyum. Ayah tau, kalau ibu ke laut , aku yang menemani. Yang ayah tak tau, kalau ibu hamil karena aku. Ayah turun dari rumah menuju kedai kopi dan main catur di sana setelah ibu meaksanya minum obat. Saat ibu mau naik ke rumah, aku memanggilnya. Ibu datang dan naik ke perahu di kolopng rumah.
“Benar ibu hamil?” tanyaku. Ibu mengangguk.
“Ibu takut membuangnya,” jawab ibu.
“Kenapa dibuang, Bu?”
“Karena dalam perut ibu adalah anakmu. Bukan anak ayahmu,” jawab ibu berbisik. Aku diam.
“Kalau nanti harus menyanginya, karean dia anakmu. Ini rahasia,” kata ibu. Aku menganguk. Tak pernah terpikir, aku akan punya anak. Kutatap wajah ibu dan ibu menatap wajahku dengan senyum. Ibu tahu aku limbung dan tak menyangka akan punya anak.
“Benar ibu hamil?” tanyaku. Ibu mengangguk. “Ibu takut membuangnya,” jawab ibu. “Kenapa dibuang, Bu?” “Karena dalam perut ibu adalah anakmu. Bukan anak ayahmu,” jawab ibu berbisik. Aku diam. “Kalau nanti harus menyanginya, karean dia anakmu. Ini rahasia,” kata ibu. Aku menganguk. Tak pernah terpikir, aku akan punya anak. Kutatap wajah ibu dan ibu menatap wajahku dengan senyum. Ibu tahu aku limbung dan tak menyangka akan punya anak.“Tapi kau harus terus menerus menyiraminya,” kata ibu. “Menyiram bagaimana bu?” tanyaku. “Kita harus terus menerus ngentot, bodoh,” kata ibu ketus. “Kenapa?” “Kalau tidak, nanti di dalam perut anakmu sakit,” kata ibu. Aku mengangguk. Aku berpikiran, kalau orang hamil harus terus menerus disetubuhi. Aku diam. Aku haruspandai-pandai menguasai keadaan agar Suti tidak cemburu. Padahal kalau boleh, aku justru ingin punya anak dari Suti.“Suti mana?” tanya ibu. AKu amenjelaskan, kalau Sutibaru saja pergi latihan pramuka ke sekolahnya. “Ayo cepat. Kamu naik dari pintu belakang dan aku dari pintu depan. Kamu harus menyirami anakmu,” kata ibu. Aku cepat meningalkan perahu. Aku tak ingin anakku sakit dalam perut ibu. Cepat kututp pintu. Ibu juga menutup pintu dari depan. Ibu langsung ke dapur menemuiku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Ibu menyumpalkan teteknya ke mulutku. “Buat aku seperti Suti,” kata ibu. Aku mengisap-isap dan merabai tetek ibu. “Ya.. kamu harusisap, supaya nanti air susu ibu banyak dan anakmu bisa menyusui dengan lahap dari tetek ibu,” bisik ibu. Aku mengiyakan dan melakukan apa yang dikatakan ibu.Kedu tetek itu kuisap dan kujilati bergantian. Kuremas dan kubelai-belai. Sampai aku sudah meloighat ibu melepaskan pakaiannya. Ibu menidurkan tubuhnya di lantai. Aku melepas celanaku juga dan menindih ibu dari atas. Ku buka kedua paha ibu dan kutusukkan kontolku ke lubang memeknya. Ibu menari tengkukku dan menyedot-nyedot bibirku. Aku menjulurkan lidahku. Kami saling mengisap lidah. “Oh… kalau dari dulu aku mengathu begini… Kenapa ayahmu tak pernah melakukannya,” kata ibu. “Ayah hanya melakukan apa, Bu?” tanyaku. “Ayahmu hanya tau menusuk memek ibu dan menusuk belakang ibu, kalau ibu lagi haid,” katanya. Oh…. Aku terus menggenjotnya dan terus menusuknya. Dlam dan sangat dalam sekali. Ibu menggelinjang dan memelukku dengan kuat. “”Ayooo… toleee… diteruskan. Ibu sudah mau sampai.. terus nak…” kata ibu. Aku terus menggenjotnya dari atas. Aku menekan kuat tubuh ibu dan ibu memelukku. Kami sama-sama menikmatinya. “Ayo… buruan… nanti ayahmu pulang…” Aku menggenjotnyaslebih cepat lagi. Leboh cepat lagi dan lebih cepat lagi. Crooottt…croootttt….crrrooooottttt…. Spermaku memenuhi lubang memek ibu dan kami berpelukan denga erat. Kii aku menyadari, bahwa aku juga sudah semakin menyayangi ibu, walau rasa sayangku lebih besar pada adikku Suti. Kontolku keluar dari memek ibu karena mengacil. Aku bangkit. Ibu pun duduk membenahi celananya. Saat itulah terdengar ketukan di pintu depan. Ayah berteriak memanggil untuk dibukakan pintu. “Kamu keluar dari pintu belakang langsung ke atas perhau,” kata ibu. Aku mendekati pintu dapur. Saat ibu melangkah ke depan dengan langkah yang kuat di atas lantai papan itu, aku membuka pintu dapur dan melangkahke bawah kolong dan naik ke prahu.“Kenapa pintu dikunci? Mana anakmu?” tanya ayah. “Di bawah membenahi jaring,” kata ibu. “Kebnapa akutidak lihat?” tanya ayah. “Karena matamu memang tuidak melihat,” jawab ibu ketus. Ayah turun ke korlong rumah. Dia mendapatiku tertidur didalam perahu. Saat ayah mau mendekat, aku pura-pura ngorok. Aku mendengar ayah melamgkah naik ke rumah. “Wah… dia ngorok,” kata ayah. “Biarkan dia ngorok. Dia letih sekali. Dia telah menggantikan kedudukanmu mencarimakan. Seharusnya kau banga pada anak laki-lakimu itu,” kata ibu. “Ya… dia sangat muda menggantikan diriku,” kata ayah sedih. Ayahpu mengembangkan sajadah untuk melaksanakan shalatnya. Aku benar-benar tertidur saat adzan mahgrib berbunyi dari pengeras suara masjid, aku terbangun. Aku memenag letih, bukan mengakayuh perahu, tapi mengkayuh ibu agar anakkubisa aku sirami.Sehabis makan malam, aku duduk di teras rumah. Ayah dan ibu sudah tertidur, demikian juga Suti. Tak ingin aku membangunkan Suti. AKu hanya memeluknya dan mengcup pipinya dengan sejuta sayang.
 dari oh mama - PERAHU 9
Mas kenapa tidak menyayangiku lagi, tanya Suti sepulang sekolah. Aku gagap menjawabnya. Aku jugamerasa, kalau Suti seperti tertinggal. AKu mengetahuinya, kalau Suti suka sendiri dan menyendiri. "Mas, apa mas tidak sayang sama Suti lagi, ya?" tanyanya dengan rengekan. "Siapa bilang Mas tidak sayang. Mas, harus kerja keras mendapatkan uang, utnuk sekolahmu, agar kamu terus sekolah tinggi. Mas rela kerja keras untuk itu. Apa namanya itu bukan sayang?" tanyaku pula. SUti mengengguk."Tapi Mas sudah tidak pernah mengajakku lagi ke laut mencari ikan. Ibu saja yang mas bawa," katanya mereajuk.
"Itu juga karena ibu sayang kamu. Dia tidak mau sekolahmu terganggu," kataku. "Tapi mas dan ibu tidak gituan, kan?" tanya Suti menyelidik. "Apa kamu sudah gila SUti. Dengan ibu sendiri," kataku pula setengah membentak. Suti diam dan menyadari kesalahannya. Suti lalu memelukku dan menyandarkan kepalanya dibahuku dengan manja. AKu memeluknya dan SUti mendongakkan kepalanya, lalu aku menciumi bibirnya dan kami berciuman mesra. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ibu memasuki rumah. Kami cepat-cepat berpisah. Suti turun dari pintu belakang dan aku duduk di lantai. Ibu tersenyum. "Kedatanganku menggangu ya?" sindir ibu. Aku diam. "Tapi ibu juga harus memberikan kesempatan kepada Suti. SUti juga butuh..." kataku. Ibu tersenyum. "Ya.. sudah, bawa dia melaut. Hati-hati jangan sampai ketahuan orang," kata ibu. Aku langsung turun ke bawah menemui Suti dan mengajaknya melaut, karean Sabtu sore itu, Suti tidak ke sekolah latihan Pramuka dan tidak ikut les. Suti senang sekali kuajak ke laut. Kami membawa peralatan penjerat kepiting. Kami sama-sama mendayung perahu ke tengah laut menuju pulau kecil. Kami sama-sama berkeringat. Saat kami di tengah laut, kami berpapasan dengan nelayan lainnya.
"Sudah gelap, bakal turun hujan deras..." seorang nelayan berteriak. "Ya.. Pak. Kami hanya memasang jerat kepiting dan akan langsung pulang. Besok pagi akan kami angkat," jawabku dengan suara keras. Begitu selesai memasang jerat kepiting, huja turun dengan deras disertai oleh petir. Kami cepat-cepat ke pulau kecil dan menambatkan perahu, lalu kami berlari ke dalam gubuk yang ada di pulau kecil itu. Sebuah gubuk kecil beratap rumbia dan berdindingkan anyaman daun kelapa. Kami duduk di bangku-bangku kecil yang ada di sana. Tiba-tiba petir menyabung lagi dan kilatnya menyambar-nyambar. "Mas...aku takut," kata Suti. Dia naik kepangkuanku dan memelukku. Aku juga memeluknya. Lama kami saling berpelukan.
"Mas... aku mau," kata Suti berbisik.
"Kita tidak bawa kondom. Nanti kamu hamil dik. Jangan ya," kataku. "Jadi bagaimana dong Mas?" "Biar Mas jilati saja ya..." bisikku. Suti diam saja. Kuangkat baju kaosnya dan kulepaskan tali bra-nya. Aku mengisap-isap perlahan teteknya. Kujilati lehernya dan kuelus-elus pantatnya dalam pangkuanku.
"Mas... aku mau. Aku mau mas..." rengeknya.
"Nanti amu hamil dik. Jangan ya," kataku.
"Tidak mas... dua hari lagi aku akan haid. Pingangku sudah mulai sakit," katanya. Oh... aku tidak menyadari, kalau adikku sudah pintar menandai haidnya. Kuturunkan dia dari pangkuanku, Kulepas celananya. Hujan masih terus turun dengan derasnya. Aku juga melepaskan celanaku. Kami berdua setengah telanjang. Kuminta Suti kembali naik ke pangkuanku. Dia sudah tau tugasnya. Suti naik kepangkuanku. Perlahan dia tangkap kontolku dan memasukkannya ke memeknya. Suti menekan tubuhnya, agar kontolku tertelan oleh memeknya.
"Oh...Kandas, mas," katanya. "Ya." Kami berpelukan dan bibir kami terus menempel. Lidah kami tak hentinya berkaitan dan kami saling memeluk dan saling mengelus-elus tubuh kami berlawanan dengan sapuan-sapuan mesra. "Mas... benar tidak melakukan ini sama ibu, kan?" tanya SUti masih mengandung curiga. "Kamu jangan mengada-ada," kataku.
"Kabarnya ibu hamil mas," kata Suti. "Ya.. kenapa kalau hamil. Kamu kan juga dengar, kalau malam itu mereka begituan juga," kataku. Suti Diam. Dia terus memelukku dan perlahan-lahan mengoyangkan tubuhnya. Dia memutar-mutar pinggangnya dan aku terus mengisapi teteknya yang mungil denganpentil yang kecil. "Andaikan kita tidak bersaudara ya Mas," kata Suti. "Kenapa?" "Kalau kita tidak bersaudara, kita akan pacaran. Kalau SUti tamat sekolah,. kita menikah<' katanya. "Hus... jangan pikirkan itu. Nanti kamu harus menikah dengan laki-laki lain," kataku. "Nanti kalau Suti sudah menikah dengan lak0-laki lain, kita tidak bisa seperti ini lagi," katanya.
"Siapa bilang. Bisa dong. Kita akan buat pertemuan rahasia," kataku meyakinkan dan Suti tersenyum sembari terus mengoyang-goyang pinggangnya. Suti pun memeluk erat tubuh ku. Nafasnya sudah terenagh-engah. Oh.... Suti meleguh seperti lembu. "Aku sudah sampai mas," katanya. Aku tetap memel;uknya dan membiarkan dia berada di pangkuanku. Aku tahu, SUti sudah lemas. Kubiarkan dia diam di atas pangkuanku. Aku tetap memeluknya dan membelainya. Kontolku masih tetap tegang dan keras dalam memeknya. "Mas... sayanag Suti, kan?" bisiknya. "Ya.. aku tetap menyayangimu," kataku merayunya. "Mas jangan pernah lakukan ini pada ibu ya?" ulangnya lagi. "Kamu jangan mengada-ada dik. Jangan mengada ada," kataku. "Benar ya Mas..." "Benar. Dia ibu kita," kataku mengandung penyesalan. Suti mencium leherku dan mendengus di sana. Terasa nafasnya hangat di leherku. Gairahku muncul. Aku memelukkan kedua tangankua ke pantatnya dan menarik maju-mundur, agar kontolku keluar masuk di memeknya. "Terus mas... enak...." katanya. Aku meneruskannya. Suti memelukkan kedua tangannyake tengkukku dan mulai menempelkan bibirnya dan lidah kami kembali bertautan. "Ayo mas... ayo mas. ayoooo..." katanya. Kulihat nafsunya demikian menggebu-gebu. Aku terus menggoyangnya dan terus mencucupi bibirnya dan suara hujan semakin lama semkin menderas saja. Sesekali suara petir menggema dengan didahului oleh kliat dengan lidahnya yang menyambar-nyambar. Pada suara petir yang ketiga, aku memeluknya dengan kuat dan Suti juga memelukku dengan kuat. Saat itu, aku melepaskan speermaku beberapakali ke dalam memeknya. "Maaaasssss....ohhhh...." Aku terus e\memeluknya dengan kuat dan membelai-belai kepalanya. "Enggak pakai kondom lebih enak lo Mas," katanya. "Kenapa?" "Entah. Rasa lendirnya lebih nikmat. Kalau gak pakai kondom, lendirnya gak terasa," kata Suti tersenyum. "Ya... kita haruspakai kondom, kecuali kalau kau dua hari lagi mau haid," kataku. Kontolku mengecil dan lepas dengan sendirinya dari memek Suti. Kuturunkan tubuh Suti, seiring dengan hujan mulai mereda. Malam sudah tiba dan langit makin hitam. Angin mulai rada juga. "Kita pualng Mas. Aku takut," kata Suti. "Ya. Kita pulang" Kami memakai pakaian kami dan mendekati perahu lalu naik ke atasnya. Aku melepaskan ikatan tali perahu dan kami mengkayuh ke darat. Di darat, kami sudahmelihat kerlipan lampu=lampu dari desa kami. Kami memacu dayungan kami. Jangan sampai hujan datang semakin deras lagi dan angin menderu-deru. Di bawah siraman hujan rintik kami mendayung dan mendayung perahu kami tanpa kenal lelah.
"Mas... aku masih mau," kata Suti.
"Besok lagi. HUjan nanti deras dan angin nanti kencang, Kita harus segera tiba di rumah dan ganti baju, biar besok amu tidak sakit," bujukku. Suti tersenyum dengan semangat dia mendayung perahu dengankuat dan perahu kami melaju dengan kencang. Setiba di rumah, kami langsung mengganti pakaian kami dengan yang kering dan kami menyantap makanan yang sudah tersedia. Aku memberikan sebuah tablet obat flu, agar Sutio tidak sakit dan aku juga menelan sebutir obat itu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar